Jumat, 25 Mei 2012

ALIM MARKUS (Penembak Burung)

ALIM MARKUS
PENEMBAK BURUNG GRUP MASPION



Maspion dan Alim Markus adalah dua nama yang tak terpisahkan. Di Jawa Timur, orang mengenal nama Maspion sebagai kelompok usaha besar, yang menjamah berbagai bidang usaha: industri peralatan rumah tanga, elektronik, perbankan, real estate hingga perbisida. Sedangkan Alim Markus dikenal sebagai Presiden Direktur Grup Maspion, yang mampu melambungkan nama Maspion sebagai salah satu kelompok usaha yang paling bersinar di Jawa Timur. Perkembangan Grup Maspion yang makin pesat belakangan ini memang tidak lepas dari sentuhan tangan dan kegigihan Alim Markus. Pria berperawakan sedang ini rela mengorbankan pendidikan dan masa kecilnya untuk mulai berkiprah di dunia bisnis. "Saya hanya mengenyam pendidikan sampai kelas dua SMP karena keburu membantu usaha orang tua," menurut Markus. Ya, pada usia 15 tahun, sebagai anak tertua Alim Markus, lelaki yang kini berusia 44 tahun itu diminta untuk membantu bisnis keluarganya, PT Logam Djawa – produsen peralatan rumah tangga sederhana yang terbuat dari alumunium, seperti panci dan wajan. Mulailah Remaja cilik Markus meninggalkan pendidikan formal di Sekolah, dan memasuki ajang pendidikan yang lebih luas: dunia bisnis. Ia keluar masuk pasar dan toko untuk menjajakan barangnya. Bertemu dengan berbagai macam orang, dengan karakternya yang beragam. Dari pergaulan itulah ia menimbah ilmu yang tidak pernah diajarkan di Sekolah. Selain itu, karena merasa pendidikan formalnya kurang, Markus pun mau bersusah payah menambah ilmu di sela-sela kesibukannya menjalankan roda usaha. Ia mengambil berbagai kursus. "Pengetahuan saya dari Sekolah kan sangat minim, mau nggak mau saya harus belajar sendiri," ujarnya. Maka, ia pun sibuk belajar akuntansi, bahasa Inggris dan Jepang – belakangan ia juga belajar bahasa Korea dan Jerman. Karena perusahaannya masih kecil, Markus pun kemudian menjelajah berbagai aspek dalam pengelolaan usaha. Selain menangani pemasaran dan distribusi, ia pernah menjadi kasir, pemegang buku, dan pekerjaan lainnya. "Karena saya membantu perusahaan sejak kecil sampai besar, maka saya mengalami semua seluk beluk perusahaan," kata Markus. Berkat gemblengan masa lalunya, hingga kini Markus selalu ingin mengetahui bagaimana perkembangan bisnisnya. Jadi, misalnya, ketika berjalan-jalan di pabrik, ia bisa tahu berbagai proses produksi yang dijalani. Ia memang ingin mengetahui segala sesuatunya secara rinci. "Kita harus mengetahui dan menguasai semua bidang pekerjaan," kata Markus. Tapi, itu tidak berarti dengan mengetahui secara mendalam semuanya lalu Markus mengerjakan sendiri. "Sebagai pimpinan kita harus bisa Mendelegasikan wewenang," tuturnya. Cuma ia punya sikap yang jelas, Mendelegasikan wewenang adalah suatu keharusan, tapi dia tetap harus tahu secara rinci. "Kan banyak pengusaha yang bersikap, 'Ngapain saya tahu secara detail, saya serahkan saja kepada orang sudah cukup.' Nah, yang seperti itu bukan pengusaha betul. Kita boleh mengetahui, tapi jangan dikerjakan sendiri. Kalau dikerjakan sendiri, kapan selesainya dan kapan memimpin orang lain." Agaknya, keterlibatan total Markus dalam pekerjaannya itulah yang membuat perusahaan keluarga Alim terus berkembang. Keinginan Markus untuk maju juga kian menggebu-gebu. Seiring dengan perkembangan usaha, Markus makin rajin menimbah ilmu dari berbagai sumber: mulai dari kursus-kursus (kalau perlu ke luar negeri) hingga berbagai seminar, dan pergaulan dengan kalangan bisnis. Ia pun kerap menyerap gagasan dari berbagai buku yang dibacanya. Kenapa Markus demikian bersemangat menempah diri? "Orang yang tanpa pengetahuan tidak akan menjadi profesional," kata Markus. Tapi, pengetahuan saja dianggap tidak cukup. Profesional saja masih kurang. Harus ada faktor lain, yakni punya kemauan keras, disiplin, dan ketekunan. "Kalau punya kemauan keras tapi gampang putus asa, itu tidak betul, harus tekun dan langgeng. Kemauan keras tapi tidak disiplin, itu juga salah. Dan yang tak kalah penting kemampuan membawahkan (leadership)," kata Markus, membeberkan kiatnya memimpin Maspion. Belajar sambil berbisnis itulah yang menempahnya hingga cepat matang. Tak heran jika dalam usia yang masih cukup muda, 30 tahun, Alim Markus pun tampil sebagai Presdir Grup Maspion, menggantikan posisi ayahnya pada 1980. Ketika itu, nama Logam Djawa tidak lagi "berbunyi", karena sejak 1971 Markus bersama ayahnya mendirikan PT Maspion Plastic & Metal Manufacturing. Sejak itu nama Maspion berkibar, dikenal sebagai produsen alat-alat rumah tangga yang terbuat dari plastik dan alumunium. Di industri plastik, yang dihasilkan Maspion bukan Cuma rantang atau termos dan berbagai macam peralatan rumah tangga lainnya, tapi juga pipa PVC. Bahkan lebih ke hulu lagi, masuk ke produk bijih plastik. Demikian pula di alumunium, yang dihasilkan bukan lagi panci-panci sederhana, tapi dengan bahan yang lebih baik, stainless steel dan peralatan rumah tangga berlapis Teflon, serta aluminium untuk konstruksi. Kini, puluhan perusahaan bernaung di bawah bendera Maspion – kepanjangan nama Mas Pionir. Karyawannya yang tersebar di tiga lokasi pabrik (Maspion Unit I, II dan III) ada 20.000 orang. Untuk memimpin perusahaan sebesar itu, Markus dibantu adik-adiknya: Alim Mulia Sastra, Alim Satria, dan Alim Prakasa. Seperti diketahui, Grup Maspion dibagi dalam beberapa divisi. Dan di setiap divisi, Markus berduet dengan salah satu adiknya. Misalnya, di Indal Alumunium Industry, penghasil peralatan rumah tangga dan berbagai jenis produk alimunium lainnya, Markus bersama Prakasa tampil sebagai pemimpin. "Kalau saya tidak ada, misalnya sedang keluar negeri, maka yang menangani perusahaan ya Pak Markus," kata Prakasa. Saudaranya yang lain hanya sebatas pemegang saham. "Saham yang dimiliki sama besarnya, hanya saya yang lebih tinggi 5% di bandingkan adik-adik saya untuk setiap perusahaan Grup Maspion," kata Markus. Dengan pembagian wewenang seperti itu, proses pengambilan keputusan bisa cepat. Misalnya, kalau ada usul untuk mengembangkan usaha di Indal, maka yang berbicara cukup Markus dengan Prakasa. Jika keduanya sepakat, rencana pun dijalankan. Jika tidak, maka perbedaan yang muncul di bawa ke rapat setiap Senin. Rapat yang diselenggarakan di kantor pusat Grup Maspion ini – di Jalan Kembang Jepun, Surabaya – juga dihadiri oleh pemegang saham mayoritas (50%) Grup Maspion, Alim Husein. Di situlah keluarga Alim (Alim Husein, Alim Markus, Alim Mulia Sastra, Alim Satria, Alim puspita dan Alim Prakasa) membicarakan berbagai hal penting yang menyangkut perkembangan Maspion. Bagi Prakasa, peran paling penting dari Markus dalam pengembangan bisnis Maspion adalah penataan sistem manajemennya yang dilakukan pada tahun 1980-an. "Pak Markus sangat memperhatikan penataan ini, mulai dari sistemnya hingga pengadaan perangkat komputer pada tahap awal pengembangan perusahaan," kata Prakasa, yang baru terjun ke bisnis setelah meraih gelar MBA dari Kanada. Dalam mengembangkan usaha, Markus sangat selektif memilih mitra bisnis. "Kami selalu memilih mitra bisnis yang terbaik di bidangnya," kata Markus. Umpamanya, Maspion menggandeng Du Pont (Amerika Serikat) yang memiliki teknologi Teflon – kemudian melebar ke industri agrokimia. Dan bermitra dengan Samsung (Korea Selatan) Maspion masuk ke industri elektronik dan electric home appliance, seperti kipas angin dan Setrika. Contoh lain, Raksasa Marubeni diajak bermitra untuk menghasilkan produk antikarat. Ketika membidik industri melamin, Maspion memilih mitra dari Thailand. "Peralatan makan melamin yang dihasilkan perusahaan Thailand itu paling tinggi mutunya di dunia," kata Markus. Dengan memilih mitra yang paling menonjol prestasi teknologi atau penguasaan pasarnya, Maspion akhirnya mampu menghasilkan produk dengan kualitas tinggi. Itu sebabnya, pesanan dari mancanegara mengalir ke Maspion. Sebuah jaringan toserba di AS, misalnya, memesan peralatan masak yang khusus dipasarkan di Negara Paman Sam itu – Master Cuisine 9000.
Maspion kini sudah besar. Dan itu terjadi karena strategi ekspansi yang diterapkan Markus cukup mengena. "Kami menganut falsafah kalau kami menanam padi, hasilnya pun padi. Kalau kami menanamnya banyak, hasilnya juga banyak," kata Markus. Jelas, bahwa di bawah kepemimpinan Markus, Maspion akan terus melakukan ekspansi, baik yang masih berkaitan dengan bisnis yang kini ditangani, atau sama sekali bidang usaha baru. Jangan tanyakan apa bisnis inti Grup Maspion. Sebab, bagi Markus, "Core business adalah bisnis yang bisa dikuasai." Jadi, semua usaha yang dimasuki Maspion adalah bisnis inti. "Konsep saya lain. Kalau kami bisa bersaing dengan orang lain, itulah bisnis inti kami. Jadi, tak berarti saya hanya terjun ke satu industri, tanpa mengembangkan yang lain," tuturnya serius. "Namanya usaha, ya segala bidang kami masuki," ujarnya lagi. Bagi Markus, pengembangan usaha adalah hal yang perlu terus menerus dilakukan. Ibarat menanam pohon, kalau hanya bisa menanam lima pohon, lima itulah yang dipelihara sehingga manjadi besar. Setelah berbuah, tanam lagi pohon lain agar pohon yang ada di lahan usahanya bisa berkembang terus. "Dan di bidang itu kami harus menjadi market leader," katanya. Itu dibuktikan dengan penguasaan pasar plastik peralatan rumah tangga nasional sebesar 30%, pipa PVC 40%, dan alumunium sheet 80%. Namun Markus juga sangat menekankan bahwa dalam pengembangan bisnis tidak perlu serakah. Sebab, kalau serakah, bisa diibaratkan, "Kita ingin menanam pohon sebanyak-banyaknya, tapi kewalahan menyirami dan memupuknya, sehingga hasilnya menjadi jelek." Dalam menangkap peluang bisnis. Markus mengumpamakan seperti memburuk burung. Dan sebagai pemburu peluang, senjata utama pengusaha adalah permodalan. "Tanpa modal, kan tidak mungkin menjalankan usaha. Modal ini pun harus diakumulasikan, karena dengan modal kecil, usaha yang bisa dimasuki juga kecil," kata Markus. Sedangkan kemampuan manajemen diibaratkan sebagai kemahiran menembak. "Kita harus aktif. Peluang usaha adalah burung yang harus dikejar," ujarnya. Nah, dalam memburu peluang itu, ketepatan waktu juga penting. Sebab, kalau tidak tepat, misalnya membidik terlalu lama, bisa saja tiba-tiba burung tersebut terbang dan kesempatan pun menghilang. "Harus punya keberanian untuk menembak pada saat yang tepat," kata Markus. Dalam bekerja, semangat efisiensi sangat mewarnai gaya kerja dan penampilan Markus. Ruang kerjanya, misalnya, tidak terlalu besar dan transparan dengan dinding dari kaca tebal. Orang yang lalu lalang di depanya akan mengetahui apakah Markus ada di ruangan atau tidak. Apalagi pintu ruang kerjanya selalu terbuka. Semangat keterbukaan? Tidak persis dimaksudkan begitu. Yang diutamakan efisiensi. "You buka pintu saja sudah kehilangan waktu sekian detik. Kan sayang. Biarkan saja pintu terbuka, toh tidak ada nyamuknya," kata Markus. Ia pun tidak khawatir gerak-geriknya terlihat oleh bawahannya. "Kalau sama karyawan tidak apa-apa. Tamu kan tidak akan nyelonong begitu saja karena sudah sering di bawah. Sekretaris saya pun bisa menghadap orang sembarangan," kata Markus. Kepercayaan Markus pada "filternya" memang tidak belebihan. Begitu masuk ke kantor pusatnya di lantai pertama, orang akan segera berhadapan dengan petugas yang akan menanyakan maksud kedatangan orang itu. Jika diizinkan bertemu dengan bos Maspion, tinggal naik tangga ke lantai dua, dan akan berhadapan dengan empat, ya empat sekretaris Alim Markus. "Sekretaris saya memang empat. Tapi semuanya efisien, bekerja penuh. Coba you lihat kalau masuk ke kantor saya, tidak ada orang yang membaca koran. Semua bekerja," kata Markus. Tidakkah pekerjaan para sekretaris itu bertabrakan satu sama lain? "Tidak. Pekerjaan kami terbagi dalam beberapa masalah. Apalagi Maspion kan perusahaan besar, ada puluhan perusahaan, sehingga permasalahan pun banyak," kata Wati, yang mengurus bidang umum. Sedangkan untuk urusan jadwal kegiatan Markus, Catherine yang mengatur. Begitulah, jika di luar kantor, atau sedang melaju di atas mobilnya, Markus tinggal mengecek kepada Catherine, apakah ada orang yang mencarinya. Jika ada, ia tinggal menghubunginya. Atau menanyakan persoalan yang mesti diselesaikan pada sekretaris lain jika menyangkut bidang usaha yang dibawahinya. Soal real estate, misalnya, akan langsung berhubungan dengan Setyowati.
Markus, efisien menggunakan waktunya. Setiap hari, bangun pukul 5.00, lalu segera meluncur ke lapangan golf. Dari tempat olah raga, ia tidak balik ke rumah. "Saya mandi dan sarapan di tempat golf, dan langsung ke kantor," kata Markus. Sebelum pukul 08.00 Markus sudah tenggelam dalam urusan kantor hingga sore hari. Karena itu, sepulang kerja, waktunya dicurahkan untuk keluarga. Markus pantang membawa pekerjaan ke rumah. Demikian pula isterinya, Srijanti, sama sekali tidak pernah menjamah atau merecoki pekerjaan suaminya atau urusan kantor. Jadi, setelah pulang dari kantor, di rumah waktu Markus dihabiskan untuk keluarga, dengan sang isteri dan dua anaknya yang masih kecil. Lima anaknya yang lain bersekolah di Singapura. Praktis rumah di atas lahan seluas 1.800 meter persegi luas bangunannya sekitar 250 meter persegi yang ditata apik itu terasa lengang. Dengan 47 pabrik dan 20.000 karyawan, sebenarnya Maspion dan keluarga alim sudah boleh disebut sukses. Toh, Alim Markus masih merasa bisa mengembangkan kelompok usahanya untuk menjadi lebih besar lagi. Di benaknya sudah tergambar "peta" perkembangan yang akan ditempuh dalam 5 – 10 tahun mendatang. "Jika disituasi ekonomi dan politik tetap stabil seperti sekarang, kami bisa terus berkembang dan menampung tenaga kerja sampai 50.000," ujarnya. Impian yang cukup "berani". Soalnya, jangankan mengurus karyawan puluhan ribu, mengelola karyawan yang jumlahnya ratusan saja bisa bikin kelenger.- apalagi kalau muncul aksi mogok. Maspion pun pernah merasakan bagaimana kacaunya situasi ketika para pekerja mogok pada tahun 1993 lalu.
Jika di perusahaan lain tuntutan utama pemogokan biasanya menyangkut penyesuaian upah atau gaji, di Maspion lain, karena tingkat upah di kelompok perusahaan ini memang selalu di atas upah minimal yang ditetapkan Pemerintah. Justru karena upahnya yang sudah lumayan itulah, Maspion terhindar dari pemogokan. Ketika aksi mogok merebak di Surabaya, seorang pejabat di sana menunjuk Maspion sebagai contoh perusahaan besar yang tak pernah dilanda pemogokan, dan meminta pengusaha di Surabaya mencontoh Maspion. Markus ingat persis omongan pejabat itu diucapkan pada bulan Juni 1993. "Eh, tak tahunya pada bulan Juli karyawan Maspion mulai mogok," kata Markus. Yang menyulut pemogokan, menurut Markus, karena persoalan normatif. Para karyawan meminta agar pimpinan pabrik salah satu unit usahanya dipecat. Alasannya, kepala pabrik tersebut terlalu singkat memberi waktu istirahat, Cuma 39 menit, yang dinilai para karyawan tidak cukup untuk dipakai makan siang dan sembahyang. Apalagi jika hari Jum'at, karyawan harus pontang-panting makan dan sholat Jum'at. Telat sedikit, mereka disemprot pimpinan, lengkap dengan ancaman pemecatan. Situasi itulah yang membuat karyawan mangkir kerja. Markus akhirnya mencopot pimpinan pabrik yang sok kuasa itu, dan memutasikannya ke bagian lain. Ternyata kejadian itu diikuti oleh karyawan bagian lain. Mereka merasa mendapat angin mogok dan meminta pimpinan yang tidak disukai dipecat. Sialnya, ketika aksi mogok digelar terjadi kebakaran di tiga pabrik, "Di Maspion unit 1 kan ada 15 pabrik, yang mogok itu empat pabrik," kata Markus. Permintaan para karyawan untuk memecat atasannya masing-masing di pabrik kedua, ketiga, dan keempat, ditampik Markus. Ia meminta supaya perselisihkan antara karyawan dan pimpinannya diselesaikan secara hukum. "Siapa yang merasa dirugikan, silakan melapor ke Depnaker atau melalui kepolisian dan ke pengadilan," kata Markus. Kejadian itu memberi hikmat kepada Markus untuk lebih memperhatikan aspek nongaji karyawannya. Markus, kini setiap Sabtu sore 200 – 300 karyawan Maspion Unit 1 diangkut untuk berolahraga; senam atau lari atau pertandingan antarpabrik. "Mereka berolahraga dan kami menghitung waktu olahraga itu sebagai lembur," kata Markus. Saat berolahraga itulah, kebersamaan karyawan dengan pimpinannya digalang. Energi para karyawan yang masih muda-muda pun tersalur secara positif.

ARIFIN PANIGORO (Si Raja Minyak)

ARIFIN PANIGORO RAJA MINYAK YANG AKTIF DI POLITIK

Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama Arifin Panigoro hanya dikenal kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang perminyakan. Lingkaran pergaulannya lebih banyak dengan Pertamina dan pengusaha perminyakan internasional. Namun, ketika reformasi tengah "hamil tua" yang ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kesadaran politik Arifin bangkit. Ia telah menjadi simbol kebangkitan politik pengusaha. Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan mahasiswa, termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk dikirim kepada mahasiswa yang tengah menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter besar, hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing. Jadi, setiap Pertamina melakukan tender untuk pemasangan pipa besar, maka perusahaan asing yang menang karena untuk pipaline butuh peralatan berat. Peralatan itu umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan asing.
Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar dan tidak hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 1981 ia memberanikan diri untuk mulai masuk proyek pipanisasi yang berdiameter besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerja sama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu dengan alat tersebut ia mencari proyek ke mana-mana.
Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan asing yang berpengalaman di bidang perminyakan selama puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan proyek besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk membangun kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu perusahaan asal Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik awal Medco menjadi besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina, yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan.
Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang Medco sebagai mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan pengusaha lokal. Namun, tanggapan dari perusahaan asing itu membuat Pak Wiharso tersingung dan batal. Lalu Pak Wiharso memintanya menggarap proyek itu sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran.
Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki kemampuan bahasa Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal "bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal berlangsung buruk.
Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima syarat itu karena posisi tawarannya yang jelek. Setelah itu ia langsung terbang ke Indonesia. Saking panjangnya perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di Indonesia langsung sakit. Namun, dengan kondisi yang berat ia berusaha menemui Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Pak Piet Haryono dan Pak Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan pemerintah.
Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif agar pengusaha lokal mampu bersaing. Namun, tetap harus dilakukan secara betul karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di sinilah sulitnya, kadang proteksi itu memberikan hasil yang sebaliknya. Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah menjadi manja.
Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada tahun 1990. Sebelum tahun 1990 Medco selalu bekerja sama dengan pihak ketiga dan untuk masuk ke sana bukan hanya masalah konsistensi ketekunan dan normatif, tetapi juga urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab, untuk memburu satu sumur minyak bukan urusan ribuan dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu pun belum tentu ketemu minyaknya.
Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap ada, maka tahun 1990 untuk pertama kali Arifin membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 13 juta dollar AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac Indonesia milik ExxonMobil, yang sampai saat ini total produksi yang dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.
Barangkali inilah prestasi paling gemilang dari Arifin dan perusahaannya, Meta Epsi Drilling Company (Medco). Pembelian Stanvac dimenangkan melalui tender yang kemudian namanya diubah menjadi Expan. Dengan pembelian itu, PT Stanvac tidak lagi dikuasai orang asing sebab perusahaan minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh Medco.
Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas isu tersebut, Arifin membeberkan bahwa ia membeli perusahaan minyak itu melalui tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya saja tidak bisa. Baru setelah selesai pembelian, mereka bisa benar-benar bertemu. Ia membelinya secara langsung. Waktu itu cadangannya cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996 produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan saja bisa mendapatkan 320 juta barel minyak.
Sukses di bidang perminyakan ternyata membuat Arifin berpikir lain masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen gas terbesar di dunia dan banyak industri yang berteriak kekurangan gas? Pernyataan inilah yang kerap membuatnya gundah. Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor LNG karena cadangan gas jauh lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan sudah mencapai 170 triliun kaki kubik (TCF). Jika cadangan itu diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.
Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke Pulau Jawa karena berapa pun harganya tetap menarik. Misalnya PLN, jika membeli gas harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal unit (MMBTU) sudah sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM sama dengan 18 dollar AS per barrel. Harga itu sangat murah dibandingkan harga BBM yang harus dibayar PLN sebesar 30 dollar AS per barrel.
Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin sama memikirkan, apakah terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar AS per barrel. Medco menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa 0,5 sen dollar, sudah bisa untung.
Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil menyambung pipa gas ke Singapura, setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah kebijakan yang salah. Gas di Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, barangkali pemerintah memiliki pertimbangan harga di Singapura yang barangkali lebih baik.
Sukses di dunia bisnis membuatnya ikut berpetualang ke dunia politik. Awalnya ia melakukan pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar biasa, khususnya buat Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang Umum MPR yang akan mengesahkan Soeharto menjadi Presiden ketujuh kalinya.
Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan konsumsi kepada para demonstran yang melakukan aksi di Gedung DPR. Ribuan kotak makanan dikirim. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah tokoh di belakang aksi atau cukong para mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan untuk memperbaiki keadaan.
Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era Presiden BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat dengan tuduhan pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, Arifin kembali dicoba untuk dijerat lewat perkara di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya dikerjain karena masih banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas politik yang digeluti.
Pengalamannya sebagai pengusaha membuat dia tidak kaget dengan praktik politik karena di dalamnya ada aktivitas melobi atau menggarap, juga money politics. Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari permulaan bekerja sebagai pengusaha, ia tidak pernah buat kesepakatan dengan fasilitas yang diperolehnya.
Demikian juga dengan urusan politik yang juga bagian dari kompromi lintas fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang, cukup pengertian bahwa kita punya sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani sama-sama. Namun, perjalanan tidak selalu mulus, godaan banyak. Apalagi kekuatan politik sekarang sesudah zaman Soeharto, relatif pemainnya baru semua.
Meskipun terbiasa bermain dengan uang, namun Arifin mengaku memiliki batasan dalam memainkan uangnya. Sayangnya, proses politik atau proses pengambilan keputusan politik, ternyata uang yang berbicara. Padahal, meskipun ia seorang pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. Meskipun ia mengaku, cara bisnisnya memang tidak sebersih di AS. Di negara itu, mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori sogokan. Ia tidak begitu amat, tetapi mendambakan good government and corporate governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.
Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau menghitung berapa total uang yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, yang akan membebani APBD setiap daerah. Jangan lupa, itu uang rakyat dari pajak. Kalau pemimpinnya main, tentu menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga ikut ambil bagian. Dengan demikian korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan efek berantai, jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal hilang sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah.
Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah ketika partai-partai baru bermunculan tahun 1998-1999 setelah lengsernya Soeharto dari kursi presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin hubungan dengan berbagai tokoh politik, baik tokoh masyarakat yang sudah lama dikenal maupun tokoh yang baru muncul. Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, Arifin kerap menghadirinya. Namun, akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Bersama PDIP, Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.
Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik Arifin terbilang bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai peraih suara terbanyak dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR. Namun, dunia politik memang seperti cuaca yang cepat berubah. Arifin yang kerap dikenal sebagai anak "indekos" di partai berlambang banteng merah gemuk itu dianggap sudah kurang loyal kepada partainya dan mulai memihak lawan partai politiknya bernaung.
Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan jalan mulus Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan, kini dianggap sebagai anak yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.
Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia harus membuat acara perpisahan dengan teman-teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau dikeluarkan dirinya akan lebih senang. Seperti orang kerja, kalau berhenti tidak dapat pesangon, kalau diberhentikan malah dapat pesangon.
Meskipun siap untuk keluar, namun mengenai masa depan politiknya masih belum jelas, dan ia sendiri masih belum bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. Hal itu terjadi karena dari tahun 1998 ia termasuk non-partisan, meskipun belakangan bergabung ke partai. Awalnya, ia datang pada setiap acara peresmian partai baru, sampai akhirnya bergabung dengan PDIP.
Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng-iseng. Atau ia hanya ingin ada lima tahun periode yang lain, tidak hanya menjadi seorang pengusaha.Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika berhenti lalu serta-merta melawan PDIP, apalagi mau menggulingkan Megawati.
Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan relaksasi dan bermain golf di Paris atau mencari sekolah khusus untuk mereka yang sudah berumur di kota yang mempunyai makanan yang enak-enak. Mungkin enam bulan istirahat dulu.
Ia juga termasuk orang yang respek terhadap cendekiawan muslim Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu bukan politikus, tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali mengemukakan minatnya jadi presiden Arifin termasuk orang yang awal-awal mendatangi dan bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun ini, dia dari unsur yang berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan demikian bisa menjadi ukuran moral, sebab moral juga harus terukur. Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya dapat meningkatkan kualitas pertandingan.
Mengenai kehidupan keluarganya, suami dari Raisis A Panigoro cukup bahagia. Anak-anaknya sudah besar, bahkan yang tertua Maera Hanafiah sudah menikah dan sebentar lagi dikarunia anak kedua. Adapun yang bungsu Yaser Mairi sedang menambah pendidikan di Singapura pada bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan perhatian kepada anak-anak, karena jam kerja yang ngawur. Sekarang, sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa dengan orang tua.
Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada yang secara khusus disiapkan menggantikannya. Anak pertamanya seorang ibu rumah tangga, anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya, Medco bukan perusahaan keluarga, jadi sebaiknya dijalankan oleh profesional. Kebetulan, adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi Panigoro duduk Medco.
Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang tuanya. Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, silakan saja kalau mau meneruskan. Ia mengaku tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh orang lain, toh semua aset, cadangan tidak ke mana-mana.
Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", suami dari Raisis A Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang dijalani terus menggelinding. Baginya, disebut kaya itu relatif, kalau di Indonesia, seperti dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang beberapa kali dicekal untuk bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya untuk apa kekayaan itu.
Sebagai orang yang romantis, ia mengaku merasa benar-benar kaya, kalau berada dalam satu konser musik yang benar-benar disukai. Seperti saat ini, setelah bisa menikmati alunan gamelan Jawa, maka setiap mendengar musik Jawa itu sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, baginya kaya cukup sederhana, bukan harta melimpah atau kekuasaan.
Arifin juga sadar, suatu saat akan pensiun sebagai orang perminyakan. Namun, tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia merencanakan untuk memfokuskan ke Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini orang sedang banyak bicara tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang masih kurang kelapa sawitnya. Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan yang akan ditujunya kemudian.

ASRUL SANI (Seniman Pelopor '45)

ASRUL SANI SENIMAN PELOPOR ANGKATAN '45


Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.

Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul "Tiga Menguak Takdir" yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri "Gelanggang Seniman Merdeka", malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.

Dalam antologi "Tiga Menguak Takdir" Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul "Surat dari Ibu". Sejak puisi "Anak Laut" yang dimuat di Majalah "Siasat" No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi "Tiga Menguak Takdir" tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam "Tiga Menguak Takdir", lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah "Siasat", "Mimbar Indonesia", dan "Zenith".

Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para "nurani bangsa" itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon "merdeka atau mati" dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.

Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar "Suara Bogor", redaktur majalah kebudayaan "Gema Suasana", anggota redaksi "Gelanggang", ruang kebudayaan majalah "Siasat", dan menjadi wartawan pada majalah "Zenith".

Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa "Surat Kepercayaan Gelanggang", yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, 'kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan'.

Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.

Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.

Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.

Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah "Titian Serambut Dibelah Tudjuh" pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya "Apa yang Kau Cari Palupi" terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah "Monumen", "Kejarlah Daku Kau Kutangkap", "Naga Bonar",. "Pagar Kawat Berduri", "Salah Asuhan", "Para Perintis Kemerdekaan", "Kemelut Hidup", dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.

Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.

Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.

Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, 'masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara'.

Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya.

BAMBANG NURYATNO RACHMADI (McDonald's Indonesia)

BAMBANG NURYATNO RACHMADI
MR. TONNY McDONALD'S INDONESIA



Suatu malam penghujung 1989, di sebuah restoran McDonald's di kawasan Orchard Road Singapura, seorang lelaki bertubuh subur sedang membersihkan meja. Dengan seragam T-shirt bergaris-garis merah yang agak kesempatan dan topi berlabel M khas McDonald's, lelaki yang tak lain adalah Bambang Rachmadi, mantan presdir Panin Bank tadi tampak serius bekerja. Jatuh miskinkah ia ? Bisa jadi. Karena setelah mengundurkan diri dari kursi puncak Panin Bank pada November 1988, nama Bambang nyaris tenggelam. Tak terdengar lagi apa kegiatannya kemudian. Bila setahun kemudian banyak pengusaha Indonesia melihatnya tiba-tiba menjadi pekerja kasar di jaringan fast-food terbesar di dunia itu, orang pun bertanya-tanya. Repotnya, Bambang pun tak bisa menjelaskan apa yang sedang ia lakukan. "Soalnya saya mesti jaga rahasia. Saya nggak ingin pers Indonesia tahu sehingga membuat MD batal memberikan lisensinya kepada saya," ucap menantu Wapres (ketika itu) Sudharmono, yang kini managing director PT Ramako Gerbangmas, pemilik dan pengelola jaringan restoran McDonald's Indonesia. Kehati-hatian Tonny, sapaan akrab Bambang tampaknya memang wajar. Karena MD adalah satu-satunya taruhan Tonny setelah keluar dari Panin. Apalagi, ia harus menunggu satu tahun setelah memasukkan aplikasi hanya untuk bisa dipanggil mengikuti pelatihan. Dan pelatihan di Singapura yang disebut On the Job Experience (OJE) itu, bukanlah lampu hijau untuk memperoleh lisensi MD. OJE adalah semacam tes awal bagi pelamar. Tapi itulah tes yang paling berat. Karena dalam latihan kerja pelayan, seperti melap meja, membersihkan toilet serta menjadi tukang parkir, inilah para pelamar banyak yang gugur.
Pada Februari 1991, restoran MD milik Tonny resmi dibuka di Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta. Dibukanya outlet MD pertama di Indonesia itu sekaligus menjawab pertanyaan tentang menghilangnya Tonny selama 2,5 tahun dari dunia bisnis Indonesia. Restoran itu juga merupakan buah dari perjuangan Tonny selama hampir tiga tahun. Dia adalah salah satu dari 13 orang Indonesia yang melamar ke MD selama 10 tahun ini. Dan untuk menang, kali ini ia harus bersaing dengan 39 kandidat. Ide menjadi wirausaha bermula ketika ia mulai "bosan" menjadi pucuk pimpinan di bank milik Mu'min Ali Gunawan. Padahal sebagai bankir – ia diangkat menjadi presdir Panin Bank pada usia 35 tahun – karier Tonny tergolong pesat. Sejak 1971 hingga 1974, sembari menyelesaikan kuliahnya di FHUI Extension, kelahiran Jakarta 41 tahun silam ini bekerja di PT Cicero Indonesia. Setahun kemudian ia hijrah ke Bank Duta. Dari bank tersebut ia peroleh kesempatan belajar ke Negeri Paman Sam. Hasilnya pada 1978 ia berhasil menyabet dua gelar: MSc bidang internasional banking & finance dari Saint Mary's Graduate School of Business Moraga, dan gelar MBA dari John F. Kennedy University Orinda – keduanya di California. Dengan dua gelar itu, Tonny kembali ke tanah air dan kembali ke Bank Duta pada 1978. Setelah sempat manajer divisi operasi di kantor pusat, ia kemudian dikirim ke Surabaya sebagai branch manager pada awal 1979. Setahun kemudian ia dipromosikan menjadi kepala divisi pemasaran. Dia meninggalkan posisinya di Bank Duta sebagai managing director International Banking pada September 1986 untuk bergabung dengan Panin Bank. Sebagai orang nomor satu di Panin Bank, ketika itu Tonny sempat melakukan beberapa pembenahan; manakala kondisi Panin dikabarkan lagi tertimpa malapetaka. Menurut harian The Asian Wall Street Journal, Bank Indonesia sampai menggolongkan Panin dalam klasifikasi tidak sehat. Di tangan Tonny, perlahan-lahan bank ini mulai melesat lagi. "Tapi yang lebih penting, bank ini sekarang sudah dinyatakan sehat oleh BI," ucap Tonny suatu ketika. Kendati boleh dibilang Tonny cukup berhasil dalam mengemudikan Panin Bank, toh kursi presdir malah membuatnya gerah. "Salah satu yang mengganngu pikiran saya adalah karier saya di bank," ucap Tonny dengan lirih. Lho? Sebagai orang muda, ia merasa kariernya di perbankan sudah mentok. Alasan yang lebih klasik lagi adalah sudah tak ada tantangan. Dan ia ingin mencari tantangan di lahan yang lain. Apalagi, selama menjadi bankir, Tonny lebih banyak berperan sebagai penasihat bagi kalangan usaha. "Saya tergugah untuk membuktikan diri sebagai pemain," ucap lelaki yang bergabung dengan Panin Bank selama dua tahun itu. Tekadnya menjadi pengusaha sudah bulat. "Saya ingin jadi pengusaha yang sukses," katanya penuh semangat. Sebelum mengundurkan diri dari Panin, ia telah melakukan survei tentang beberapa bidang usaha yang potensi perkembangannya cukup bagus. Walau dalam benaknya terlintas beberapa bidang usaha, toh industri makananlah, menurut dia, yang paling pas baginya. Dan McDonald's adalah partner yang ia pilih. Alasannya, selama ini restoran MD cukup bagus, dan hampir semua outlet-nya sukses. "Saya berketetapan harus bisa memperoleh lisensi MD," ucap bapak tiga anak yang rambutnya sudah dua warna itu. Memperoleh lisensi MD adalah tantangan yang tak mudah. Paling tidak terlihat dari daftar pelamar dari Indonesia selama 10 tahun terakhir ini, ada 13 ribu orang, dan belum ada satu pun yang berhasil. Dan yang lebih berat, konon, MD tak menginginkan mitra kerja yang tidak memberikan komitmen 100%. Itulah sebabnya pada bulan September 1988 ia memilih mengundurkan diri dari Panin, hanya dengan satu cita-cita: memperoleh lisensi MD. Pada saat itu memang terkesan Tonny mempertaruhkan seluruh kariernya yang hampir 14 tahun di dunia perbankan. Padahal, keinginannya untuk menjadi pemegang lisensi MD Indonesia belum tentu tercapai. "Kalau waktu itu saya nggak dapat MD, ya saya harus siap mulai lagi," kenangnya. Setelah bebas dari Panin, ia mulai mengurus permohonannya ke MD. Setelah itu? "Hari-hari penantian yang menegangkan," ucap Tonny bersemangat. Tentu saja menegangkan, karena ia harus menanti satu tahun sampai diperbolehkan mengikuti pelatihan. Menanti sesuatu yang belum pasti sangat menegangkan bagi Tonny. Karena itu ia selalu berusaha berkomunikasi dengan MD Pusat. "Paling tidak seminggu sekali saya berusaha menelepon mereka sekedar just to say hello," ucap lelaki yang pernah diusir dan diperlakukan kasar ketika mencoba mengunjungi MD Pusat ini. Tersinggung? Tidak. Sebab dia sadar betul bahwa semua yang ia lakukan dengan satu tujuan, "Saya harus menunjukkkan bahwa saya sangat menginginkan." Menurut Tonny, MD adalah pemberi lisensi yang cukup ketat dalam menyeleksi calon mitra kerjanya. Konon, sebelum memilih Tonny, pihak MD ingin mengenal secara dekat keluarga besar Tonny. "Mereka ingin tahu bagaimana latar belakang dan kehidupan keluarga kami," jelasnya. Karena, MD menginginkan bisnis ini bisa diteruskan oleh anak-anak Tonny. Bahkan, dalam salah satu kontrak yang harus disepakati – setelah lisensi diberikan – MD mesti mengetahui segala persoalan yang terjadi dalam manajemen PT Ramako Gerbangmas (RG), sekalipun mereka tak memiliki saham di situ. Hal ini disyaratkan, karena pihak MD tak menginginkan kalau tiba-tiba saja saham RG berpindah tangan ke pihak lain yang juga memiliki bisnis fast food merek lain, misalnya. MD juga mensyaratkan bahwa pemilik saham mayoritas RG harus juga pemegang kendali bisnisnya. Maksudnya, supaya orang yang mengambil keputusan di bisnis ini nantinya adalah orang yang benar-benar menguasai bidangnya. Maka, sejak awal pihak MD telah menanyakan kepada Tonny maupun istrinya tentang siapa yang akan menjadi Mr. Atau Miss McDonald's. Begitulah. Setelah satu tahun menegangkan, datanglah keputusan bahwa ia boleh mengikuti pelatihan. Tempat pelatihan pertama sengaja dipilih di Singapura. "Karena di sana banyak orang Indonesia. Sehingga pressure-nya lebih tinggi," kata lelaki yang gemar naik motor gede ini. Dan benar, selama tiga bulan pertama pelatihan – di mana Tonny harus berseragam pelayan – ia selalu bertemu kenalannya dari Indonesia. Selain pelatihan yang bentuknya non manajerial, Tonny juga diuji bekerja selama 18 jam nonstop. Dari situ akan terlihat seseorang memiliki bakat melayani atau tidak. Karena, pada jam-jam pertama barangkali orang masih bisa bersikap manis. Tapi bila telah masuk jam ke-8 dan seterusnya, maka tingkat kelelahan dan stresnya sudah tinggi, hilanglah sikap manis. "Biasanya banyak yang nggak lulus di sini," ucap Tonny, lalu tertawa. Dalam pelatihan, Tonny yang sebelumnya tak pernah mengepel lantai, apalagi membersihkan kamar mandi, terpaksa melakukan semua pekerjaan – yang dalam istilah Tonny: pekerjaan tanpa otak – itu dengan hati lapang. Walau sering kali ia harus menerima bentakan dan mengulangi hasil kerjanya lantaran dinilai kurang bersih, misalnya. Hasilnya memang memuaskan. Dia berhasil meninggalkan 39 pelamar dan mengalahkan tiga kandidat. Dari pelatihan "kuli" tadi, baru Tonny digodok di Sekolah milik McDonald's yaitu: McDonalds Corporation Hamburger University selama 1 tahun. Sekolah itu mendidik para calon store manager MD. Sistem pelatihan yang pernah dialaminya kini ia terapkan bagi semua calon manajer di MD Indonesia. Setiap manajer yang ada di MD adalah orang yang telah dilatih dari bawah. "Jadi nggak mungkin seseorang masuk langsung jadi store manager," ucap pengusaha yang suka berbusana seadanya ini. Muti Soetoyo adalah salah seorang manajer yang sempat merasakan pelatihan gaya MD. Kelahiran Jakarta 27 tahun silam ini, termasuk karyawan pertama MD yang di-training. Lulusan IKIP Jakarta 1988 itu bergabung dengan PT RG Juli 1990, lalu dikirim ke Singapura untuk mengikuti program pelatihan. Sebelum diterima menjadi karyawan, lajang berpostur sedang ini diperkenalkan dengan program OJE. Dalam program ini ia diberi kesempatan mengenal pekerjaan crew dalam beberapa shift. Dari "latihan" tiga hari itulah diputuskan apakah ia bisa diterima atau tidak, untuk kemudian diperkenalkan mengikuti pelatihan selanjutnya selama lima bulan. "Saya dulu nggak pernah membayangkan kalau training-nya seperti itu," ucap Muti, first assistant store manager di MD Sarinah, Jakarta, sejak Juni lalu. Ternyata kini Muti justru sangat menikmati pekerjaannya. Bahkan, tak jarang ia harus stand by di kantor sampai pagi hanya untuk menunggu mesin yang sedang direparasi misalnya. Ketika digodok untuk menjadi training manager ™ Muti harus melalui tahap pelatihan pelayanan. Setelah lulus, Muti ditempatkan di salah satu outlet MD di Singapura. Dan pada saat MD Jakarta dibuka, single yang hingga kini masih kuliah di FEUI ini telah menjadi second assistant store manager. Selain Muti, masih banyak Muti-Muti lain yang telah tersebar menjadi manajer-manajer di lima outlet MD. Dan selama ini proses pendidikan terus berlangsung.Apalagi, untuk tahun 1992 Tonny menargetkan akan membuka 10 cabang di seluruh Nusantara. Hasil kerja keras Tonny selama 2,5 tahun diuji MD memang cukup menakjubkan. Setidaknya, itu terlihat ketika restoran pertama MD dibuka di Sarinah Jakarta. Begitu menggebrak pasar, Tonny mengklaim bahwa setiap hari rata-rata terjadi 4 ribu transaksi. Bahkan, majalah Fortune edisi Oktober 1991 meramalkan penjualan outlet Tonny akan menempati posisi teratas dari 12 ribu restoran MD di seluruh dunia. Setelah menjadi wirausaha dengan anak buah yang hampir 1.000 orang, masihkan ia berpikir untuk jadi bankir lagi? "Saat ini sih nggak," ucapnya serius. Tampaknya, saat ini Tonny lebih suka berkonsentrasi mengembangkan kewirausahaannya ketimbang kembali jadi profesional. Tapi, akhirnya Tonny tergoda juga untuk masuk ke bank lagi. Itu terjadi ketika ia mengambil oper 73% saham Bank IFI pada tahun 1995. "Sebagai pemegang saham, di Bank IFI saya hanya menjadi komisaris. Saya tetap memegang MD. Komitmen saya penuh pada MD," kata Tonny. Ya, Tonny tentu tidak akan "nekat" menjadi pengelola bank lagi. Dengan 42 outlet yang dimilikinya pada pertengahan 1996, MD memberikan arus kas yang luas biasa bagi Tonny. Transaksi MD selalu tunai. Siapa yang sudi melepas mesin kas seperti itu ? Dengan memiliki usaha sendiri minimal Tonny terbebas dari keharusan berpakaian rapi, berdasi dan wangi. Kini Tonny sudah terbiasa mengenakaan pakaian santai, mengendarai Harley Davidson untuk memonitor Kelima outlet yang tersebar di Jakarta. Hadirnya MD di Indonesia, ternyata tak cuma menambah "gemuk" Tonny – yang nyaris menamai kegendutan mascot MD – saja. "Berat badan saya 70 kg," ucapnya dengan mimik serius. "Itu nggak pakai tangan, kaki dan kepala. Ha…ha…ha…," sambil tertawa berderai. Yang jelas, Sarinah, gedung pertokoan bertingkat pertama di Jakarta ini juga terimbas kesuksesan MD. Sejak kebakaran pada awal 1980-an Sarinah nyaris hilang dari peredaran. Apalagi munculnya pusat-pusat perbelanjaan yang lain, semakin menenggelamkan nama Sarinah. Namun setelah MD mangkal di situ Sarinah menjadi marak kembali. Itulah Tonny, dia adalah satu diantara segelintir profesional yang berani mengambil resiko. Melepaskan atribut keprofesionalannya, kemudian memulai dari nol untuk menjadi seorang wirausaha. Dan berhasil ! Kini dia peroleh nama baru : Mr. McDonald's.